Resensi Novel Sabtu Bersama Bapak

novel sabtu bersama bapak

Penyunting: Resita Wahyu Febrianti
Proofreader: Yuke Ratna P. & Mita M. Supardi
Desainer sampul: jeffri Fernando
Penata letak: Landi A. Handwiko
Penerbit: Gagas Media
Tahun: 2014

27 Desember 1991

“…Mungkin bapak tidak dapat duduk dan bermain di samping kalian.

Tapi, Bapak tetap ingin kalian tumbuh dengan Bapak di samping kalian.

Ingin tetap dapat bercerita kepada kalian.

Ingin tetap dapat mengajar kalian.

Bapak Sudah siapkan….”

hal 5

Sungguh. Novel yang satu ini sebetulnya sudah lumayan lama hadir dirumah. Terbit 2014. Mungkin kira – kira awal 2015 dibeli oleh adikku. Tapi entah mengapa tak tertarik sedikitpun hati ini untuk pinjam dan baca. Sesaat setelah diangkat ke layar lebar. Damn!, tak perlu berfikir dua kali. “pinjam baca ya ?” “oke” balas adikku. 😀

***

Di dalam kamar tidur, Gunawan Garnida-pria berusia 38 tahun asal Bandung, menatap ke arah lensa handycam. Alat itu baru saja dia beli dau hari yang lalu, bersama tripod. Dia sendiri masih belajar mengoperasikannya. Yang penting saat ini, dia tahu letak tombol ‘recording’ dan ‘stop’. Dia membetulkan posisi duduk di kurdi, memastikan agar dirinya aman. –hal 1

***

Dihalaman pertama aku dikejutkan dengan satu tokoh-pak Gunawan. Tokoh sentral yang dapat tetap hidup dalam lembaran-lembaran kisah selanjutnya namun harus meninggal dalam setting cerita akibat kanker yang dideritanya. Tapi ternyata dia tak bodoh. Dia rekam seluruh pesan yang kelak anak dan istrinya butuhkan. Dia yakin bahwa esensi dia hidup adalah dapat mendampingi hidup Cakra dan Satya serta Itje Garnida, istrinya. Mendampingi  tak harus hadir dan dekat secara fisik.

Sabtu..? ada apa dengan hari ini. Akhirnya penulis menjawab rasa penasaranku dihalaman 3. Hari-Hari Sabtu-judulnya.

Sore itu ibu Itje sudah menyiapkan sebuah video player dan sebuah TV-cerita ini di setting tahun 1990-an, tak ada laptop waktu itu.

“kalian  duduk di sini.

Sudah, berhenti menangis.

Mamah nyalain TV dulu.”

“Saka gak mau nonton TV. Saka mau Bapak.” – Saka nama kecil Cakra. Cakra menangis dengan suara meninggi.

hal 4-5

Aku suka dengan konflik – konflik yang dibuat penulis. Semua terasa punya nyawa sendiri namun saling berkaitan erat. Penulis berhasil menyambungkan setiap fase perkembangan Cakra dan Satya dengan pesan-pesan yang sengaja dibuat pak Gunawan dan bu Itje sebagai sutradara yang menentukan kapan dan pesan apa yang harus ditonton kedua anaknya.

***

Ketika dewasa nasib Cakra dalam asmara tak seberuntung dan seindah kisah Satya-sang kakak. Alumni Geologi UNPAD ini jauh lebih dulu menemukan tambatan hatinya, Rissa dan bahkan sudah beranak 3- Ryan, Miku, Dani dan hingga cerita ini ditutup oleh penulis. Perjalan kisah asmara Cakra selalu konsisten ditemani oleh pesan-pesan pak Gunawan yang terselip rapi di sela-sela cerita. Lalu bagaimana dengan nasib asmara Cakra ? ah, ini bagian yang paling aku suka.

7 September 1992

“..Satya, Cakra.. suami-suami yang memperlakukan istri mereka seperti barang,adalah suami yang zolim..” – hal 225

Membaca novel sabtu bersama bapak ini mengajarkanku cara menjadi anak dan bapak idaman, bertanggung jawab akan bahtera rumah tangga dari serangan badai yang kapan saja siap menghantam.

Bengkayang, Desa Karimunting, Kec. Sungai Raya Kepulauan // 09:46 WIB

 

9 thoughts on “Resensi Novel Sabtu Bersama Bapak

  1. Salam kenal juga

    Membaca novel ini juga telah memaksa saya untuk berubah menjadi lebih baik, lebih terencana, dan lebih fokus tanpa harus kehilangan rasa humor dalam hidup. Sebuah buku yang bagus akan tetap jadi buku bagus, kalau kata JK Rowling.

    Like

    • iya kak, belom nemu nih kawan2 book blogger lain di Pontianak. moga aja nnti ada ya 🙂
      atau kawan2 FLP yang dah dan mau nge-blog bisa juga diarahin buat jadi book blogger juga kak 🙂

      Like

Leave a reply to Dion Cancel reply